TERMINALBERITA.COM – Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan pelemahan di awal pekan ini, terseret oleh dinamika geopolitik regional dan pergerakan global mata uang utama. Pada pembukaan perdagangan Senin pagi, rupiah melemah 28 poin atau 0,17 persen ke level Rp16.325 per dolar AS, dibandingkan posisi akhir pekan sebelumnya di Rp16.297.
Menurut analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, pelemahan nilai tukar hari ini utamanya dipicu oleh dua faktor besar: keguncangan politik di Jepang dan menguatnya indeks dolar secara global.
“Kurs rupiah hari ini diperkirakan bergerak dalam kisaran Rp16.320 hingga Rp16.360. Isu stabilitas politik di Jepang menekan sentimen regional, sementara dolar AS menunjukkan penguatan akibat meningkatnya permintaan aset safe haven,” jelas Rully kepada ANTARA di Jakarta.
Krisis politik di Jepang menjadi sorotan utama pasar. Koalisi pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba resmi kehilangan mayoritas di Majelis Tinggi, memperlemah posisi pemerintah dalam proses legislasi. Penolakan partai oposisi untuk membentuk koalisi baru memperparah situasi, membuat pemerintahan Ishiba terancam lumpuh secara politik meski ia menolak untuk mundur.
Pemilu yang berlangsung pada 20 Juli 2025 menunjukkan pergeseran preferensi pemilih konservatif yang beralih ke partai Sanseito — partai populis nasionalis yang berhasil meraih lebih dari 10 kursi di Majelis Tinggi, memberi mereka kekuatan untuk mengajukan RUU secara independen.
Dinamika politik ini menambah tekanan terhadap pasar Asia yang sudah dibayangi kekhawatiran global, terutama terkait inflasi, kenaikan suku bunga, dan ketegangan perdagangan antara Jepang dan Amerika Serikat.
Meski demikian, dari dalam negeri, rupiah mendapat sedikit penopang dari kinerja positif pasar keuangan lokal. “Pasar saham dan obligasi negara masih mencatatkan penguatan, yang setidaknya menahan tekanan lebih dalam pada rupiah,” tambah Rully.
Tingkat partisipasi pemilih Jepang yang meningkat menjadi 58,52 persen menunjukkan bahwa publik mulai aktif menuntut perubahan di tengah kekecewaan terhadap lambannya pertumbuhan ekonomi dan tidak efektifnya kebijakan fiskal pemerintah. (Antaranews)